Guys, mungkin tulisan ini adalah bentuk kekecewaan seorang mahasiswa terhadap kampus dimana tempat dia menuntut ilmu. (ilmu pengetahuan, ilmu santet dan ilmu silat). Ok, mungkin tulisan ini akan terdengar egois, mementingkan diri sendiri, apatis atau apapun itu. Tapi percayalah, tulisan ini dibuat atas rasa miris yang mahasiswa ini alami.
Sebutlah mahasiswa ini berkuliah disalah satu Sekolah Tinggi Pariwisata di Bandung (semoga tidak terdengar seperti Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, STPB. Jelas ini beda. LOL) Mahasiswa ini hanyalah mahasiswa biasa, tidak teladan, tidak pintar, bukan anak emas, bukan mahasiswa kesayangan dosen, sering bolos. Jauh dari semua itu. Malah sering membuat masalah, namun mahasiswa ini juga bukan sampah yang tidak mengetahui posisinya.
Singkat cerita. Kebetulan, mahasiswa ini mendapatkan kesempatan untuk meng-explore dan memajukan pariwisata Indonesia melalui sebuah program yang dibuat oleh Detik.com (sebuah perusahaan besar berbasis internet. red)
Yak, melalui program Aku Cinta Indonesia Detik.com, mahasiswa ini menjadi 60 peserta terpilih dari75.000 lebih peserta yang mendaftar, dan menjadi 60 orang, itu hanya 0,08 % nya saja. Bukankah itu suatu kebanggaan untuk dirinya dan kampus? Terpilih dari berpuluh ribu orang peserta. Terpilih dari sekian banyak orang Indonesia yang mendaftar mulai dari Sabang sampai Merauke. Terpilih dari berbagai macam jenis manusia Indonesia. Dengan tujuan untuk meng-explore pariwisata Indonesia, lalu memberitahukannya kepada khalayak bahwa Indonesia itu indah, bahwa Indonesia itu memiliki banyak potensi pariwisata yang belum banyak diekspos, bahwa pariwisata Indonesia itu tidak kalah dengan negara lain, bahwa pariwisata Indonesia itu kaya dengan apapun yang Indonesia punya, dan bahwa PARIWISATA INDONESIA ITU BELUM MATI !!!
Dengan rasa bangga dan yakin, mahasiswa ini mengajukan permohonan dispensasi kuliah selama 16 hari untuk mengikuti program memajukan pariwisata Indonesia yang diselenggarakan Detik.com ke kampusnya. Setelah meminta izin, menjelaskan dan memberitahukan tentang program ini kepada dosennya. Apa yang dia dapatkan? Jangankan izin atau setidaknya kata “selamat” karena mahasiswa-nya sudah terpilih dari sekian banyak orang. Mahasiswa ini malah mendapatkan cacian dari dosennya, bukan hanya itu, bahkan tanpa basa-basi si dosen malah menyuruh mahasiswa ini untuk mengambil cuti atau keluar dari kampus sekalian, dan malah membahas masalah-masalah yang udah lewat. Tidak ada sedikitpun rasa bangga dan dukungan dari dosen itu memiliki mahasiswa yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program memajukan pariwisata Indonesia.
Ok, Dapat dimaklumi kalo misalnya mahasiswa ini adalah mahasiswa jurusan elektro, mesin atau IT dan ingin mengikuti program tentang pariwisata, tentu saja penolakan untuk mendapatkan izin ini akan terasa wajar. Tapi mahasiswa ini adalah mahasiswa PARIWISATA, yang belajar di Sekolah Tinggi PARIWISATA !!! saya ulangi lagi, mahasiswa PARIWISATA yang belajar di Sekolah Tinggi PARIWISATA.
Ini kaya lo anak pertanian tapi gak boleh bercocok tanam, ini kaya lo anak jurnalis tapi gak boleh menulis, ini kaya lo anak IT tapi gak boleh megang komputer. Sampai ada beberapa teman saya yang menulis di akun twitter-nya, seperti ini :
“ada yah sekolah pariwisata gak ngizinin mahasiswanya ikut serta dalam memajukan pariwisata Indonesia *geleng2 kepala* #kecewa”
“Sekolah pariwisata ga ngijinin ikut ACI? Man, this is a big JOKE !”
Miris. Itulah apa yang mahasiswa ini rasakan. Padahal pembelajaran berharga bisa didapat bukan hanya dari sebuah bangunan bernama kampus, bukan hanya dengan duduk manis dan mendengarkan apa yang dikatakan dosen. Terjun langsung ke lapangan dan melihat secara nyata apa yang pariwisata Indonesia alami dan membagikan info-nya kepada orang banyak, akan lebih berguna ketimbang terus mendapatkan teori tanpa aplikasi nyata.
P.S : Maaf bila ada yang tersinggung dengan tulisan saya, ini hanyalah sebuah bentuk implementasi saya terhadap apa yang mahasiswa itu rasakan. Tergantung seberapa besar kebijakan anda menanggapinya.
0 comments:
Post a Comment