*uhuk*
Halo para backpacker-backpacker keceh..
Bukan... bukan... foto yang ada di atas itu bukan foto gue kok. Gue belom pernah ke Raja Ampat, kesian yah!
Itu foto Bang Regy, pas dia terpilih jadi salahsatu petualang ACI detik.com, sama kek gue.
Jadi..
Kali ini gue mau cerita sedikit nih tentang pengalaman gue selama backpacker-an. Ini akan menjadi tulisan serius yang bakalan bikin kalian dan gue sendiri mikir...
Berawal dari sebuah twit dari Bang @regycleva, rekan gue pas ikut ACI detik.com, tentang sebuah tulisan di blognya. Akhirnya gue iseng klik link-nya dan gue baca tentang sebuah artikel yang di buat kak Diana, temen seperjalanan Bang Regy pas ikut ACI ke Raja Ampat. (Nyet, ribet banget yah gue ngenalin-ngenalinnya.) Pokoknya Bang Regy dan Kak Diana ini adalah rekan gue di ACI detik.com~
Terus..
Nah di postingan itu gue baca..
Siapa yang tidak pernah mendengar Raja Ampat yang terkenal dengan sorga bawah lautnya? Seluruh media, baik cetak maupun televisi, baik nasional maupun internasional, semuanya meliput mengenai Raja Ampat.
Saya melakukan survey kecil-kecilan kepada teman-teman saya. 7 dari 10 orang yang saya tanyakan, menjawab Raja Ampat sebagai dream destination mereka.
Dua tahun terakhir ini, Raja Ampat memang menjadi buah bibir para traveler dan diver di seluruh dunia. Semua orang berlomba untuk dapat berlibur ke Raja Ampat, tidak terkecuali Pangeran Monaco. Tanggal 5 sampai 12 Desember 2010 yang lalu, Pangeran Albert II dari Monaco berserta rombongan mengunjungi Raja Ampat dan dibuat terpesona akan keindahannya.
Selama 2 minggu lebih menjelajahi Papua Barat, saya melihat betapa kayanya negeri kita. Sebuah sumber daya alam yang membuat iri negara manapun di dunia. Keindahan Raja Ampat membuat para investor asing tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berlomba-lomba untuk mendirikan resort mewah dengan harga jutaan rupiah permalamnya.
Buat saya tidak ada yang salah dengan semua itu. Saya percaya, betapa mempesonanya negeri kita ini, hingga siapapun yang datang ke Indonesia merasa menemukan ‘rumah’ mereka. Tidak sedikit orang asing yang bahkan lebih Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Kecintaan mereka untuk melestarikan budaya negeri kita dan kekayaan alam Indonesia, patut ditiru dan diacungi jempol.
Tetapi…
Tetap saja ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya.
Saya bertanya-tanya, “Mengapa kemajuan pariwisata di Papua tidak berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat Papua itu sendiri?”
Selama 2 minggu lebih menjelajahi Papua Barat, saya melihat seuatu yang sangat kontras dengan semua keindahan dan kekayaan tanah Papua yang saya tulis. Sebagian besar penduduk Papua hidup dalam kemiskinan. Baik miskin secara materi ataupun miskin secara ilmu.
Dengan adanya resort-resort mewah, tambang dan lembaga-lembaga konservasi di Papua, ternyata sedikit sekali kontribusi yang diberikan untuk kesejahteraan penduduk setempat. Kebanyakan kampung-kampung di Papua masih sangat minim sarana pendidikan dan kesehatannya.
Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri.
Anak-anak dengan ingus menggantung di hidung mereka, memakan karbohidrat dengan lauk karbohidrat juga.
Rumah-rumah yang tidak layak dihuni (menurut saya).
Rumah-rumah yang tidak memiliki kakus dan penghuninya harus berjalan ke toilet umum terdekat untuk buang air dan mandi.
Anak kelas 5 SD yang tidak bisa baca tulis.
Seorang anak yang harus berjalan jauh berkilo-kilo meter melewati hutan untuk dapat bersekolah.
Seorang anak yang tidak memiliki ibu karena meninggal saat berjuang untuk melahirkan.
Ah, masih banyak cerita mengenai kemiskinan di Papua, saya bisa menceritakannya sefasih saya menceritakan mengenai keindahannya. Saya seperti menemukan neraka berada di tengah-tengah sorga.
Sepulang dari Papua Barat, saya merasa punya PR yang saya tidak tahu bagaimana menyelelesaikannya. Menurut saya masalah ini adalah PR untuk kita semua. PR untuk pemerintah, PR untuk para investor asing maupun lokal, PR untuk pengusaha-pengusaha tambang, PR untuk para traveler, PR untuk semua yang mengaku ‘Aku Cinta Indonesia.”
Saya di sini bukan untuk menggurui, hanya ingin berbagi.
Mungkin tulisan saya terdengar berlebihan, sok tau, sok idealis atau menjurus ke naif.
Entahlah…. Saya hanya merasa saya perlu untuk menulisnya karena sejujurnya dengan segala keterbatasan saya, tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka kecuali dengan menulis.
Mungkin dengan tulisan ini ada orang-orang yang tergerak hatinya untuk menjadi tenaga pendidik atau medis di Papua?
Atau mungkin ada yang memiliki dana lebih untuk membantu mendirikan sekolah atau klinik di sana?
Atau mungkin dari pemerintah ada yang tergerak untuk meninjau ulang dan melakukan sesuatu mengenai fasilitas pendidikan, kesehatan dan juga lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sana?
Atau para traveler ada yang mau mencoba eco pariwisata berbasis masyarakat lokal di Papua? Seru lho!
Atau mungkin cukup dengan berbagi mengenai tulisan ini di Facebook atau Twitter.
Sarah Diana Oktavia.
******************************** Batas tulisan Kak Diana*********************************
*hening 3 bulan*
Miris gak lo bacanya?
Sedih gak lo bacanya?
Nganga gak lo bacanya?
Jadi bikin mikir gak lo bacanya?
Baca gak lo?
Ok. Bagus kalo baca. Dan setelah baca itu, ada sekelebat pertanyaan yang terlintas di pikiran gue, sebuah pertanyaan yang bikin gue balik lagi mengingat-ingat perjalanan yang udah gue lakuin. Mengingat-ingat lagi, pengalaman apa yang udah gue dapetin selama traveling, sehingga muncul pertanyaan “Lo, traveling buat apa, sih?”
Kemudian gue berpikir...
*hening lagi 2 bulan*
Ingatan gue kembali me-visualisasi-kan saat gue backpacker-an ke pulau Derawan. Saat gue pertama kali datang ke Derawan, yang pertama kali gue liat adalah resort-resort mewah menghadap pantai, dengan anjungan-anjungan dan bangunan-bangunan megah yang mereka punya. Tentu sebagai backpacker gembel, gue gak mampu buat tinggal di resort-resort mewah itu. Lah, buat makan aja susah. Dan akhirnya, gue masuk ke perkampungan Derawan yang tepat berada di tengah pulau tersebut. Gue nanya-nanya harga sewa kamar hotel di sana, gue kelilingin semua penginapan yang ada di sana, dan harganya memang mahal, Rp. 100.000,- keatas.
Gue bingung, karena duit gue cuma cukup buat transportasi balik aja waktu itu. Akhirnya setelah capek keliling dan hari sudah mulai malam, gue duduk si satu pohon besar di ujung perkampungan itu untuk istirahat. Tetiba, ada seorang bapak-bapak lagi naik motor dan berhenti di depan gue. “Mau kemana, dek?” tanya si bapak itu.
“hemm... gak tau nih, pak.” jawab gue sambil senyum dan garuk-garuk kepala. Kepala si bapak.
“Yaudah, sini naik motor. Ikut bapak.”
“Eh, kemana, pak?” Tanya gue curiga. Wajar dong, yakali gue takut disekep terus entar di bunuh. Tapi naluri backpacker gembel gue muncul, “yah daripada gue gak tau mau ngapain dan kemana, mending gue ikut sama si bapak.” Ucap gue dalam hati.
Akhirnya gue naik ke motornya, dan ternyata si bapak ngajak gue ke rumahnya.
“Silahkan masuk, dek. Kamu istirahat di sini aja dulu. Taro tas-nya di sini.” Ucap si bapak sembari membukakan pintu kamar.
“Ini kamar anak saya, cuma karena dia lagi ke Samarinda, jadi kosong. Kamu istirahat di sini aja. Kalau mau ke kamar mandi ada di sana yah.” Si bapak nunjuk ke sebuah kamar mandi. Yaiyalah yah, masa kamar mayat.
Ok, lanjut...
“Lah, serius nih, pak? Gak apa-apa?” Tanya gue.
“Gak apa-apa kok, dek. Kasian adek, saya liat dari tadi muter-muter kampung terus kayak orang bingung. Hahaha” Si bapak ketawa. Dan ternyata dari tadi dia perhatiin gue keliling kampungnya.
"Istirahat aja di rumah bapak. Udah makan? Ada ikan sama nasi di dapur, klo mau makan aja." Dan gue cuma bisa ngangguk.
Singkat cerita, nama bapak itu adalah Pak Ading. Beliau adalah seorang tokoh pemuka di Kampung Derawan. Dari lahir Pak Ading sudah tinggal di Derawan, dan dia tau banget seluk beluk tentang Derawan. Gue beruntung!
Selama 5 hari tinggal di rumah Pak Ading, gue dapet banyak banget cerita tentang Derawan. (Actually, gue udah pernah share cerita ini di twitter, tapi karena gue blogger, maka kurang afdol rasanya kalo gue gak sharing juga di blog. Muahahaha)
Dari Pak Ading, gue dapet cerita tentang suku bajo, penangkaran penyu, penanaman terumbu karang, pembuatan hutan mangroove dan sampai akhirnya Pak Ading cerita tentang kondisi pulau Derawan dulu.
Dulu, di sekitar Derawan, ada sebuah pulau kecil cantik yang sering digunakan oleh para wisatawan bule untuk berjemur. Waktu tempuh ke pulau itu gak jauh, cuma 10-15 menit menggunakan speed boat. Gue ditunjukin Pak Ading pulau itu, namun apa yang gue liat hanya bentangan laut luas kosong. Ternyata, pulau itu sudah hilang, pasirnya diambil dan dikeruk untuk dijual oleh pemerintah setempat. Pulau itu hancur.
derawan yang tidak seindah dulu
Dulu, lo gak usah jauh-jauh berenang ke tengah laut buat liat terumbu karang cantik. Cukup beberapa meter aja dari bibir pantai. Sekarang? Hancur.
Dulu, puluhan penyu datang ke bibir pantai buat cari makan atau bertelur. Sekarang? ada dua-tiga aja udah untung. Tempat mereka sudah hancur.
Dulu ada hutan mangroove di derawan, pak Ading yang nanem. Sekarang? Hancur. Karena gak ada biaya buat ngerawatnya. Pemerintah gak bantu.
Dulu, para wisatawan senang mengunjungi Derawan, sekarang? Derawan udah gak cantik. Mereka lebih memilih Maratua. Derawan sepi.
Dan dengan sejujur-jujurnya, mata Pak Ading memerah saat menceritakan itu. Ada air mata jatuh membasahi pipinya. Pak Ading bilang, "Saya udah tinggal disini dari kecil. Besarin anak-anak disini. Dan sekarang saya nunggu Derawan ini hancur."
Gue cuma bisa menunduk..
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhl6pqfLdOgp1Nkr7DmY5ibUG47AreuIjWJw4q4-zOOFaEokikVKuOR1jjycZg6Fcphsr7jgJIdTOR7vWDa0g6kz-t6-afcmpyq20LFAxgS5y607iDAPYRWaNVJuYlRB29TsQn2wzqchXU/s320/A0hCWosCIAAsfWt.jpg) |
Siapapun yang baca artikel ini dan mau ke Derawan, please, titip salam rindu gue sama Pak Ading. Bilang, suatu saat gue bakalan berjumpa lagi dengan beliau dan membawa sesuatu untuk Derawan yang beliau, gue, atau kalian cintai. |
Gue yakin. Pak Ading udah berusaha sekuat tenaga buat melestarikan pulau Derawan. Tapi, kalau cuma beliau sendiri?
****************************** Batas tulisan gue tentang Derawan *************************
Overall, selama perjalanan gue di Kalimantan Timur, gue sangat disambut baik oleh masyarakat lokal. Selama 15 hari di Kalimantan, gue cuma ngabisin uang gak lebih dari Rp. 600.000,-. Untuk makan, minum dan tidur pun gue gak pernah ngeluarin duit. Di Derawan, gue tidur di Pak Ading, makan di Pak Ading, minum di Pak Ading, hoping island sama Pak Ading juga. Beruntungnya gue ketemu orang seperti Pak Ading. He is my savior, indeed!
Di Kalimantan, gue merasakan negeri Indonesia yang ramah tamah. Pernah di Tanjung Selor (kalo namanya gak salah) gue ngetuk pintu satu rumah untuk minta segelas air minum, yang gue dapat bukan cuma segelas air minum doang, sob. Gue dapet sepiring nasi beserta lauknya. Inilah Indonesia yang gue baca di buku PPKN dulu semasa SD.
Balik lagi ke masalah “api dalam sekam” di tempat-tempat wisata Indonesia, di balik semua kecantikan yang Raja Ampat, Derawan, Pulau Weh, dan masih banyak lagi tempat cantik lainnya, ternyata ada kisah kelam tentang para warga lokalnya yang jauh dari kata sejahtera. Jadi kayak semakin naik pamor tempat pariwisata itu, semakin tidak sejahtera lah warganya. Walaupun, iya.. gue akui banyak juga destinasi pariwisata yang bikin warga lokalnya maju, contoh : Bali.
Tapi, balik lagi, kita sebagai traveler, backpacker, wisatawan, turis atau apapun sebutannya, pernah kah kita berpikir, “Ngapain sih kita traveling?” Foya-foya? Menikmati alamnya? Melihat keindahannya? Foto-foto? Kemudian pergi...
Traveling is about take and give.
Setelah lo puas meng-explore keindahannya, mengambil foto-fotonya, apa yang lo berikan ke tempat itu? Apa yang lo berikan untuk masyarakatnya?
Dan semua pengalaman ini bikin gue sadar.
Dari Pak Ading gue belajar, traveling bukan hanya foto-foto terus lo pulang.
Dari Pak Ading gue belajar, traveling bukan hanya haha hehe terus lo pulang.
Gue bersyukur karena memilih backpacking sebagai style gue jalan-jalan. Dengan begini, gue lebih bisa berbaur dengan warga lokal, merasakan kearifan lokal mereka.
Dengan backpacking gue bisa lebih menghargai perjalanan, bukan hanya datang lalu pergi tanpa membawa sebuah cerita. Karena, dari menjadi backpacker juga gue bisa bertemu dengan banyak orang dengan kisah-kisahnya yang menginspirasi, kemudian bisa gue share di blog ini. Kalimantan adalah trigger gue untuk terus backpacker-an.
Percaya sama gue, siapa pun kalian dan apa pun kalian di tempat asal kalian. Saat backpacking, kalian akan menjadi pribadi kalian yang terbaik.
Dan jujur, sama dengan Kak Diana di ceritanya tentang Raja Ampat, tidak banyak yang bisa gue lakuin juga, dengan segala keterbatasan, gue dan Kak Diana hanya bisa menuliskannya.
Jadi, ngapain sih lo traveling?